Penulis :
Afriyoga Felmi
Politik Identitas terus dipermainkan oleh tokoh politik, politisi karbitan, dan politisi yang tidak memiliki gagasan cemerlang dan progresif untuk dikemukakan ke publik. Persoalan politik identitas sejak lama muncul di Indonesia, dipergunakan oleh sebagian atau seseorang untuk memancing amarah publik. Hal ini kemudian dapat berdampak pada ketertiban umum, bahkan masyarakat sangat mungkin terfragmentasi dikarenakan penggunaan politik identitas.
Politik identitas dapat memanfaatkan berbagai aspek: agama, organisasi keagamaan, afiliasi partai, ras, suku, dan antar golongan. Hal ini kemudian menjadi alat yang dinilai dapat mencuri perhatian publik untuk menyoroti, menyudutkan dan menyerang secara tidak sehat. Sebagaimana dilakukan oleh Faizal Assegaf (FA) dalam akun twitternya, yang kemudian mendapat respon yang tidak seimbang antara PBNU dan Faizal Assegaf. Beberapa alasan tersebut dapat dikemukakan pada bagian berikut.
Pertama, Faizal Assegaf menuduh Gus Yahya sebagai Ketum PBNU diperalat oleh Gus Yaqut untuk memperoleh kekuasaan. Tuduhan pertama sangat bertentangan kenyataan bahwa Gus Yaqut telah diangkat menjadi Menteri Agama hingga hari ini bukan di masa kepemimpinan Gus Yahya. Hal ini kemudian menepis tudingan Faizal Assegaf yang tidak memiliki landasan dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Kedua, Faizal Assegaf telah menunjukkan ke publik bahwa dirinya sangat berpengalaman untuk memutarbalikkan fakta bahwa dirinya telah memanfaatkan politik identitas untuk kepentingan dirinya. Di tahun ini kita dapat saksikan perseteruan dirinya dengan Erick Tohir yang menggunakan topeng yang sama yaitu politik identitas.
Ketiga, cuitan Faizal Assegaf sangat lemah menyimpulkan bahwa Ketum PBNU adalah sponsor atas fenomena kebencian pada Habaib. PBNU secara normatif sangat memuliakan Habib yang merupakan keturunan Nabi. Bahkan PBNU tidak segan menjadi benteng terdepan jika ada Habaib yang dilecehkan oleh siapapun. Fenomena kebencian pada Habaib tidak dapat dialamatkan pada PBNU yang memiliki kecintaan pada seorang keturunan Nabi Muhammad.
Kelima, Faizal Assegaf sebagai warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Negara wajib menertibkan orang-orang sejenis Faizal Assegaf selama dapat menggangu moralitas publik, ketertiban umum, dan melanggar norma sosial. Hal ini secara individu dapat dilakukan pada diri Faizal Assegaf ditertibkan, dilarang, dan ditindak secara hukum.
Argumentasi di atas tentu saja konsekunsi yang tidak dapat dihindari dari kebebasan berpendapat. Meskipun seorang petinggi partai, politisi, pejabat pemerintah, atau sekalipun negara, jika telah melanggar hukum, mengganggu ketertiban umum, merusak keamanan publik, dan menciderai moralitas publik maka negara berhak dan bahkan harus melakukan penertiban terhadap seseorang atau lembaga sekalipun, sebagaimana yang dilakukan negara atas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).
*Kader Ansor Provinsi Jambi